Rabu, 04 Mei 2011

Tugas Perekonomian Indonesia "Komentar Tentang Tingkat Kemakmuran dan kesejahteraan Suatu negara"

Komentar Tentang Tingkat Kemakmuran Dan Kesejahteraan Suatu negara



Menurut saya tingkat kemakmuran itu diukur dari produktivitas pekerja di negara tersebut.
Misalnya, negara A pekerja nya bisa menghasilkan 2 pasang sepatu tiap hari dan negara B pekerja nya bisa menghasilkan 10 pasang sepatu tiap hari. Yang mana yang lebih makmur? Tentunya sudah jelas.


Nah, di sistem kapitalisme ini, ada yg namanya penggorengan uang atau uang dari "angin". Ini yg berbahaya, karena tidak didasarkan pada produktivitas. Jumlah uang yg terus bertambah karena dicetak dr "angin" tanpa diikuti oleh produktivitas akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi "palsu" di negara tsb. Lama kelamaan pertumbuhan ini tdk akan tahan dan akan terjadi krisis ekonomi, sperti yang terjadi akhir2 ini terutama di negara2 maju yg sistem finansial nya dominan (lihat AS, inggris, hongkong, jepang, dsb). Yang akan lebih tahan nanti nya adalah negara2 yg ekonomi nya lebih banyak di bidang agraria/pangan


Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas 5 persen rata-rata per tahun perlu dicapai di negara-negara sedang berkembang, karena tingkat pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, bahkan pertumbuhan angkatan kerja lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk. Dalam labour force concept yang dipakai di Indonesia, angkatan kerja adalah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dan mencari pekerjaan.
Di Indonesia pertumbuhan ekonomi pada periode Repelita di bawah orba mencapai rata-rata 7 persen per tahun, bahkan dalam Repelita II mencapai 9 persen per tahun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi bermanfaat untuk peningkatan tersedianya barang- barang untuk konsumsi, diharapkan terjadi distribusi pendapatan yang merata (trickle down), peningkatan standar hidup umumnya, peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan pendidikan dan pelayanan kesehatan, penggunaan sumber-sumber daya alam yang efisien, tidak merusak lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara sedang berkembang, juga diharapkan menjadi mesin ekonomi pembangunan untuk mencapai kemajuan yang cepat, mengatasi keterbelakangan yang berabad akibat penjajahan, menuju negara yang maju dengan industri modern. Tetapi harapan tentang manfaat pertumbuhan ekonomi seperti itu tidak mungkin dapat dicapai, kalau hanya mengandalkan pada teori dan konsep ekonomi yang dianut para ekonom barat seperti teori ekonomi neo-klasik dan neo-libral, yang di negara-negara sedang berkembang secara empirik tidak terbukti kebenarannya .
Pertumbuhan ekonomi tanpa suatu perencanaan oleh suatu pemerintahan yang kuat akan mengakibatkan biaya sosial yang tinggi, yang akan sangat membebani masyarakat generasi sekarang dan generasi-genarasi akan datang. Biaya sosial pertumbuhan ekonomi tersebut dapat berupa : dampak lingkungan, opportunity cost, distribusi pendapatan yang tidak merata, kemiskinan, pengangguran, dampak sosial : budaya, stress kejahatan; pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, kemungkinan ekonomi makro yang tidak stabil seperti dialami oleh Indonesia sekarang. Opportunity Cost of Growth “Oppportunity cost an amount of money lost as a result of choosing one investment rather than another.”


Pembangunan ekonomi nasional selama ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan. 

 
Meskipun beberapa tahun sebelum krisis ekonomi, Indonesia tercatat sebagai salah satu macan ekonomi Asia dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen per tahun,  angka pertumbuhan yang tinggi ini ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Studi  BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia usaha. 

 
Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat ini terlihat pula dari masih meluasnya masalah kemiskinan. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS-UNDP, 1999). 

 
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik.

 
Mengapa proses pembangunan ekonomi selama ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat? Siapa sebenarnya yang paling bertanggungjawab melaksanakan pembangunan (bidang) kesejahteraan sosial ini?


Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. 

 
Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil. 

 
Itulah salah satu dasarnya mengapa negara-negara maju berusaha mengurangi kesenjangan itu dengan menerapkan welfare state (negara kesejahteraan). Suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan. 

 
Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic and social development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan pembangunan.

 
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti pelayanan sosial,
rehabilitasi sosial, serta berbagaitunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran. 

 
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. 

 
Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:

 
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.

 
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).

 
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”. 

 
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.

 
Lebih jauh, kita dapat menengok Selandia Baru, satu negara yang mempraktekkan negara kesejahteraan. 
Selandia Baru memang tidak menganut model ideal negara kesejahteraan seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan negara kesejahteraan di negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Yang unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income support), misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun. 


Penerapan negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1930, ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi perdana menteri tahun 1935, menerapkan negara kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan Stenson (1995:171): “The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security should be.”


Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur urusan sosial. 


Anggaran untuk jaminan dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai 36% dari seluruh total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan, kesehatan maupun Hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau swasta. Orang cacat dan penganggur selain menerima social benefit sekitar NZ$400 setiap dua minggu (fortnightly), juga memperoleh pelatihan dalam pusat-pusat rehabilitasi sosial yang profesional. 


 Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dasar Negara Indonesia (sila kelima Pancasila) menekankan prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.


 Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas. 


Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat. 


Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh berbagai skim jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata terutama oleh masyarakat kelas bawah. 
 

Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang, sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata. 


Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat atau orang lanjut usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat